Selasa, 02 Januari 2018

Hukum Pranata dan Pembangunan BAB 4

Edit Posted by with No comments
Nama    : Yolla Ristyani Dewi
Kelas     : 3TB01
NPM     : 27315281
Dosen    : Agung Wahyudi
BAB      : 4 – Solusi dan saran ‘Konflik Pembangunan Pabrik Semen Rembang’


cr: tirto.id

                     a)      Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

                Bila dikutip dari beberapa media online, Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, meminta semua menunggu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terkait keberadaan pabrik PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. 

Keberadaan pabrik semen kembali menuai penolakan setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali menerbitkan izin lingkungan baru. Masyarakat Rembang yang terdiri dari para petani kemudian menggelar aksi menyemen kaki mereka di depan Kompleks Istana Kepresidenan. Mereka berkeras menolak keberadaan pabrik semen di lingkungan mereka.

Menurut Teten Masduki, KLHS adalah solusi yang diberikan langsung Presiden Joko Widodo untuk permasalahan ini. Soal izin lingkungan yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Teten Masduki mengaku pemerintah pusat tak bisa mencegahnya.

Menurutnya, hasil KLHS akan menjadi dasar peninjauan terhadap semua yang telah dilakukan. Hasil KLHS nantinya bukan menjadi pembatas, melainkan menjadi pegangan bagi seluruh pihak berseteru, termasuk bagi pemerintah daerah dan pusat.



Rekomendasi Menyelamatkan Alam Rembang

Hasil kajian dalam dokumen KLHS Tahap I secara tegas menjabarkan, penambangan di kawasan CAT Watuputih, di dalamnya mengandung batuan gamping, harus dihentikan secara bertahap hingga 2020. Bahkan hasil kajian itu merekomendasikan tak ada lagi perpanjangan maupun Izin Usaha Pertambangan baru termasuk terhadap 22 perusahaan yang kini beroperasi.

Namun, hasil KLHS Tahap I tak menyatakan secara eksplisit mencabut izin perusahaan tambang. “Bukan ditutup, lho (22 IUP),” ujar Sudharto P. Hadi, penanggung Jawab Tim Panel Pakar, kepada Tirto, Kamis (14/3).  

Meski demikian, pakar manajemen lingkungan dari Universitas Diponegoro ini menjelaskan sebenarnya tim KLHS Tahap I memperoleh fakta jika CAT Watuputih dan sekitarnya memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung. Berdasarkan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan itu termasuk dalam kriteria untuk ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).

“Kita tidak hanya data sekunder. Ada sebagian data primernya. Kan dari penelitian kami sudah ada yang menunjukkan indikasi KBAK di CAT Watuputih itu. Kemudian menjadi rujukan ESDM. ESDM mendalami lagi, lalu menetapkan menjadi KBAK,” ujar Sudharto.

Sementara Prabang Setyono berkata "kaget" saat menemukan kejanggalan di lapangan. Dari hasil kajian, kata Prabang, tim menemukan jika Perda 14/2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang 2011-2031 tak sesuai RTRW Nasional. Dalam perda itu, Rembang justru dijadikan kawasan budidaya untuk hasil pertambangan.

“Nah, kenapa bisa begitu? Berarti ada kebijakan dari pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang memang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung itu,” kata Prabang. Meski demikian, ia berharap, hasil KLHS Tahap I ini tak sekadar dijadikan rekomendasi. Apalagi, menurutnya, fungsi karst di Rembang ikut menopang daerah lain lantaran fungsinya sebagai kawasan imbuhan air.

“Dari aspek geohidrologi (air tanah), kalau daerah imbuhan atau resapan air diambil lapisannya akan mengganggu ekosistem,” ujar Prabang.

Sementara Ganjar Pranowo, saat dikonfirmasi oleh redaksi Tirto, justru bingung pada satu poin rekomendasi oleh tim KLHS. Menurutnya, 22 IUP di Kabupaten Rembang sama sekali tak dinyatakan untuk dicabut.

Ganjar mengatakan, terkait rekomendasi oleh Tim KLHS untuk seluruh kawasan Pegunungan Kendeng Utara yang akan rampung dua bulan ke depan, Pemprov Jawa Tengah masih belum mengambil keputusan.

“Sambil menunggu kajian yang akan dilakukan 6-12 bulan oleh Badan Geologi (Kementerian ESDM),” ujarnya kepada Tirto di Hotel Shangri-La, Kamis (13/4).

Ia menjelaskan, soal rekomendasi agar kawasan CAT Watuputih ditetapkan kawasan lindung geologi dan KBAK, pihaknya sudah "berkomunikasi" dengan PT Semen Indonesia. Pihak semen, kata Ganjar, menerima keputusan oleh tim KLHS.

“Saya tanya ke Semen (Indonesia), 'Siap toh tidak menambang dulu?' 'Oh siap, Pak. OK.' Saya kira ini kompromi paling bagus,” ujar Ganjar.


                Jadi, pada intinya, sambil menunggu kajian lebih lanjut mengenai konflik tersebut selama 6-12 bulan ke depan oleh Badan Geologi (Kementrian ESDM), pabrik Semen Indonesia tidak boleh melakukan aktivitas pertambangan hingga keputusan hasil kajian.



                   b)      Komunikasi Efektif

 Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jenis geografi yang berbeda disetiap wilayahnya, serta budaya yang beragam menjadi satu masalah tersendiri dalam pembangunan, sebab kadangkala suatu program yang direncanakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Untuk itu perlu komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurut Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Baik secara lisan maupun tidak langsung secara tulisan melalui media (Onong, 2003;79). Rembang seperti penjelasan di sebelumnya adalah memiliki sumberdaya alam yang cukup besar. Tetapi hal ini menjadi dilema masyarakat karena adanya pendirian pabrik semen. Hal ini menjadi masalah karena warga menolak pendirian tersebut. Sehingga, mengakibatkan konflik antara perusahaan, pemerintah dan warga. Adanya konflik menunjukkan perencanaan komunikasi yang dilakukan kurang tepat. 

Menurut Hamijoyo (2001), adanya konflik dalam aktivitas komunikasi adalah bukti bahwa adanya kemacetan komunikasi. Menurut Effendy (1990), bahwa salah satu komponen komunikasi yang perlu diperhatikan supaya komunikasi efektif adalah saluran atau media komunikasi yang digunakan. Penggunaan media komunikasi tentunya akan mempermudah masyarakat untuk mengerti isi pesan yang disampaikan oleh perusahaan.

Dalam tulisannya, Brulle (2010) mengemukakan bahwa komunikasi harus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan publik dalam pembuatan berbagai kebijakan dan opini publik termasuk dalam proses pembangunan infrastruktur. Model komunikasi yang digunakan perusahaan semen dikategorikan ”tidak efektif”. Hal ini disebabkan warga Rembang tidak terlibat atau berpartisipasi dalam proses komunikasi secara langsung berkomunikasi tatap muka dengan komunikator (pemerintah atau perusahaaan) sehingga menimbulkan konflik. Untuk pembangunan yang stategis komunikasi yang efektif sangat diperlukan. Dengan demikian program pembangunan akan berjalan dengan baik tanpa konflik. Disini sebelum melakukan pembangunan maka langkah yang baik adalah terciptanya komunikasi antara warga dengan pemerintah/perusahaan.

Menurut Garret Hardin, istilah konflik lingkungan yang terjadi di Rembang diatas adalah seperti “The Tragedy of the commons”. Tragedy of the commons dimaksud adalah menggambarkan berkurangnya sumber daya alam bersama (commons) karena setiap individu (yang berkepentingan) bertindak secara bebas dan rasional untuk kepentingan diri sendiri tanpa menyadari bahwa berkurangnya sumber daya bersama bertentangan dengan kepentingan kelompok dalam jangka panjang.

Framing dari kemungkinan strategi komunikasi yang dilakukan adalah dengan manajemen krisis yang bersifat dialog. (dalam Loefstedt) PT. Semen Indonesia melalui PT. Semen Gresik pada dasarnya memiliki kewajiban untuk terus melakukan produksi, sehingga sebagai BUMN tidak ikut membebani negara. Capaian sebagai perusahaan multi nasional juga pada dasarnya merupakan prestasi sehingga tidak hanya mampu mencukupi dalam negeri saja melainkan juga mampu masuk dalam pasar internasional. Alasan – alasan rasional ekonomi inilah yang kemudian menjadi alasan kuat kenapa PT. Semen Gresik harus mendirikan tambang baru. Pada dasarnya UU No. 41/1999 menetapkan peraturan penggunaan hutan untuk kepetingan non hutan, tetapi hanya boleh diberikan pada hutan produksi. Kawasan pegunungan karst di Kendeng kemudian melalui peraturan tersebut dapat digunakan sebagai hutan produksi.

Manajemen krisis yang dilakukan secara top down kemudian tidak memberikan kesempatan adanya dialog antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Perusahaan yang telah menggandeng pemerintah melalui izin yang telah diberikan kemudian berusaha untuk terus mempertahankan usahanya agar dapat mendirikan pabrik. Masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk berdialog tentu akan memberikan perlawanan karena telah berusaha memasuki zona nyaman yang telah dibentuk bertahun – tahun. Proses pengambilan keputusan yang top down oleh pemerintah juga perlakuan perusahaan yang juga top down atas izin yang diperoleh kemudian memberikan kesan bahwa tidak ada lagi usaha untuk dialog bersama.




Sumber:
https://tirto.id/di-balik-hasil-klhs-tahap-i-untuk-konflik-semen-rembang-cmGC
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170315001121-20-200146/teten-klhs-solusi-polemik-pabrik-semen-rembang/

0 komentar:

Posting Komentar