Nama: Yolla Ristyani Dewi
NPM: 27315281
Kelas: 1TB01
Dosen: Ary Natalina
Schizophrenia
1.
Apa itu Skizofrenia (Schizophrenia)?
Skizofrenia
sering digambarkan sebagai penyakit gangguan jiwa. Kondisi ini menyebabkan
penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan
perilaku. Oleh karena itu, penderita skizofrenia sulit dalam berinteraksi
secara sosial dan beraktivitas sehari-hari.
Perilaku sosial yang tertutup dan
perubahan pola tidur menjadi gejala-gejala awal skizofrenia. Karena penyakit
ini biasanya mulai berkembang pada usia remaja, gejala-gejala tersebut hanya
dianggap sebagai perubahan tingkah laku remaja.
Di
Indonesia sendiri, banyak orang yang belum memahami atau bahkan mengenali
skizofrenia. Sebagian besar penduduk di negara ini, terutama di pelosok-pelosok
desa, kerap mengaitkan kondisi ini sebagai akibat dari kerasukan makhluk halus.
Oleh sebab itu banyak penderita skizofrenia di Indonesia yang tidak
terdiagnosis, hingga tidak mendapatkan pengobatan yang layak.
Skizofrenia yang merupakan penyakit
gangguan jiwa berat ini, diidap sekitar 24 juta penduduk dunia. Dan usia rentan
kondisi ini berkisar antara 15 hingga 35 tahun.
Skizofrenia sebaiknya didiagnosis
sedini mungkin. Makin cepat masalah kesehatan jiwa ini ditangani, peluang
sembuhnya makin besar, dan penderitanya bisa kembali hidup secara normal.
2.
Apa penyebab Skizofrenia?
Pada
dasarnya, penyebab pasti skizofrenia belum diketahui. Namun sejumlah ahli
meyakini bahwa perkembangan kondisi ini tidak lepas dari peran kombinasi antara
faktor genetika dan lingkungan. Dugaan mengenai pengaruh lainnya adalah
kelainan yang terjadi pada zat-zat kimia otak, seperti asam glutamat dan
dopamin.
Para ahli yang melakukan penelitian
yang didasarkan pada pencitraan otak juga mengatakan bahwa ada perbedaan dalam
struktur otak dan sistem saraf penderita skizofrenia dengan orang yang sehat.
Genetika, zat-zat kimia otak, struktur
otak, dan sistem saraf merupakan bagian dari faktor “dalam”, sedangkan yang
termasuk faktor “luar” atau lingkungan bisa berupa stres dan penyalahgunaan
narkoba.
Stres atau trauma diduga menjadi
salahsatu pemicu utama skizofrenia. Banyak hal yang dapat membuat seseorang
mengalami stres, diantaranya adalah kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah,
kehilangan orang yang dicintai, perceraian, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Narkoba memang tidak menyebabkan
skizofrenia secara langsung, namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
remaja pengguna ganja yang berusia di bawah 15 tahun, memiliki risiko empat
kali lipat lebih besar untuk terkena skizofrenia jika dibandingkan dengan
remaja yang tidak menggunakan ganja. Selain ganja, narkoba jenis lainnya yang
dapat menjadi pemicu skizofrenia adalah kokain, heroin, dan sabu-sabu.
3.
Apa saja gejala Skizofrenia?
Gejala skizofrenia dibagi dalam dua
kategori, yaitu gejala negatif dan positif.
Gejala ‘negatif’ skizofrenia
menggambarkan hilangnya sifat dan kemampuan tertentu yang biasanya ada dalam
diri orang yang normal. Sedangkan gejala ‘positif’ menggambarkan tanda-tanda
psikotik yang muncul dalam diri seseorang akibat menderita skizofrenia.
Gejala
negatif skizofrenia biasanya sudah muncul beberapa tahun sebelum penderitanya
mengalami episode akut pertama dari kondisi tersebut. Gejala negatif berkembang
secara bertahap atau perlahan-lahan, hingga akhirnya menjadi semakin memburuk.
Gejala negatif bisa berupa:
• Rasa
enggan untuk bersosialisasi dan tidak nyaman berada dekat dengan orang lain
sehingga lebih memilih untuk berdiam di rumah.
• Kehilangan
konsentrasi.
• Pola
tidur yang berubah.
• Kehilangan
minat dan motivasi baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain maupun dalam
hidup secara keseluruhan.
Ketika penderita sedang mengalami
gejala negatif, dia akan terlihat apatis dan datar secara emosi. Karena tidak
sadar atau tidak tahu mengenai gejala negatif skizofrenia ini, kadang-kadang
orang lain bisa menyalahartikan itu sebagai sikap malas atau tidak sopan.
Mereka juga menjadi tidak peduli terhadap penampilan dan kebersihan diri mereka
serta semakin menarik diri dari sosial. Karena itu gejala negatif skizofrenia
bisa menjadi pemicu rusaknya hubungan penderita dengan keluarganya atau pun
dengan teman-temannya.
Gejala positif skizofrenia terdiri
dari:
• Halusinasi.
Terjadi pada saat panca indera seseorang terangsang oleh sesuatu yang
sebenarnya tidak ada. Fenomena halusinasi terasa sangat nyata bagi si
penderita.
• Delusi.
Yaitu kepercayaan kuat yang tidak didasari logika atau kenyataan yang
sebenarnya.
• Pikiran
kacau dan perubahan perilaku. Penderita sulit berkonsentrasi dan pikirannya
seperti
melayang-layang tidak tentu arah sehingga kata-kata mereka menjadi
membingungkan. Penderita juga bisa merasa kehilangan kendali atas pikirannya
sendiri. Perilaku penderita skizofrenia juga menjadi tidak terduga dan bahkan
di luar norma. Misalnya, mereka menjadi sangat gelisah atau mulai berteriak dan
memaki tanpa alasan.
Penting untuk mengenali gejala-gejala
skizofrenia seperti di atas. Jika Anda atau keluarga Anda mengalami
gejala-gejala tersebut, segera periksakan ke dokter. Makin dini skizofrenia
ditangani, peluang sembuhnya akan makin besar.
4.
Diagnosis Skizofrenia
Dalam mendiagnosis skizofrenia, dokter
akan mengumpulkan data-data, termasuk data mengenai gejala-gejala tertentu yang
mengindikasikan bahwa pasien menderita skizofrenia.
Pasien bisa didiagnosis menderita
skizofrenia oleh dokter jika:
·
Memiliki
sedikitnya dua gejala, baik gejala negatif maupun positif, seperti halusinasi,
delusi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
·
Gejala tersebut
telah dialami pasien selama lebih dari enam bulan.
·
Gejala tersebut
telah mengganggu aktivitas dan produktivitas pasien dalam kehidupan
sehari-harinya.
·
Gejala yang ada
telah dipastikan bukan disebabkan oleh efek narkoba.
Umumnya penderita skizofrenia enggan
untuk memeriksakan diri ke dokter. Peran keluarga atau teman sangat penting
dalam menghadapi situasi ini. Jika skizofrenia yang diderita keluarga atau
orang terdekat Anda masih tergolong ringan, berusahalah membujuknya untuk mau
melakukan pemeriksaan ke dokter. Karena sekali lagi, makin dini penanganan
skizofrenia dilakukan, maka peluang sembuhnya akan makin besar. Namun jika
skizofrenia yang diderita sudah akut, maka Anda harus minta bantuan (biasanya
kepada pihak rumah sakit) untuk membawa pasien ke rumah sakit secara paksa. Hal
ini untuk mencegah pasien berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya atau orang
lain.
5.
Bagaimana solusi pengobatan Skizofrenia?
Biasanya
pengobatan skizofrenia berlangsung dalam jangka waktu yang lama, meski
gejalanya sudah mereda. Hal tersebut dikarenakan gejala skizofrenia masih dapat
kambuh pada sewaktu-waktu.
Skizofrenia ditangani dengan kombinasi
obat-obatan dan terapi (pengobatan psikologis). Selama periode gejala akut,
rawat inap di rumah sakit jiwa mungkin diperlukan untuk menjamin nutrisi,
kebersihan, dan istirahat penderita, serta menjamin keamanan diri penderita dan
orang-orang di sekitarnya.
Obat-obatan
Obat-obatan merupakan penanganan awal
skizofrenia, dan obat yang diresepkan oleh dokter adalah antipsikotik.
Antipsikotik memengaruhi kinerja dopamin dan serotonin pada otak. Obat ini
mampu mencegah, menurunkan, bahkan menghilangkan halusinasi, delusi, agitasi,
serta kecemasan yang dialami penderita skizofrenia.
Penderita yang menggunakan
antipsikotik, perilakunya tidak seagresif penderita lainnya yang tidak
menggunakan obat ini. Selain itu, menurut penelitian, mereka yang menggunakan
antipsikotik juga jarang mengalami kumat setelah kondisinya membaik.
Anti psikotik bisa digunakan dalam dua
cara, yaitu diminum atau disuntikkan. Bagi penderita skizofrenia yang telah
melewati masa akut, pemberian antipsikotik harus tetap diberikan sebagai
langkah pencegahan.
Ada dua kategori obat-obatan
antipsikotik, yaitu antipsikotik generasi lama (fluphenazine, perphenazine,
chlorpromazine, dan haloperidol) dan generasi baru (clozapine, ziprasidone,
quetiapine, olanzapine, risperidone, aripiprazole, dan paliperidone)
Efek samping yang hanya ada pada
antipsikotik generasi lama adalah otot terasa berkedut, badan gemetar, dan
kejang otot. Sedangkan efek samping yang ada pada kedua jenis antipsikotik
adalah peningkatan berat badan, sembelit, mengantuk, pandangan kabur, mulut
kering, dan berkurangnya gairah seks.
Saat ini antipsikotik generasi baru
merupakan obat yang paling sering direkomendasikan oleh dokter karena dianggap
memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Penanganan psikologis
Setelah gejala skizofrenia reda,
disamping harus tetap melanjutkan konsumsi obat, penderita juga membutuhkan
pengobatan psikologis. Ada beberapa hal yang termasuk di dalam penanganan
psikologis ini.
Pertama adalah terapi individual. Pada
terapi ini penderita diajarkan cara mengatasi stres dan mengendalikan
skizofrenia melalui identifikasi tanda-tanda kambuh secara dini. Terapi ini
juga berguna untuk memulihkan kepercayaan diri mereka. Terapi individual juga
bermanfaat untuk kembali mengembangkan kemampuan mereka untuk bekerja dalam
mengisi rutinitas kehidupannya.
Selain itu, dalam terapi individu,
penderita skizofrenia juga akan diajarkan cara-cara untuk mengendalikan
perasaan dan pola pikirnya. Tujuannya adalah untuk menggantikan pikiran negatif
dengan hal-hal yang positif.
Yang kedua adalah terapi kemampuan
bersosialisasi. Dalam hal ini penderita diajarkan bagaimana meningkatkan
komunikasi dan interaksi dengan orang lain.
Dan yang ketiga adalah penyuluhan yang
diperuntukkan bagi keluarga penderita. Guna penyuluhan ini adalah untuk
memberikan pendidikan serta wawasan pada keluarga penderita skizofrenia, baik
mengenai cara mengatasi masalah yang timbul akibat gejalanya, maupun cara
memberikan dukungan bagi penderita skizofrenia.
Nah, jadi kurang-lebih seperti itu
bahasan tentang Skizofrenia yang saya dapatkan dari salah satu sumber. Artikel aslinya
bisa dibaca di sini.
Contoh kasus pengidap Skizofrenia
“I Talk Back To My Voice in My Head”
Jadi,
namanya adalah Dean Smith. Laki-laki ini mengaku usianya baru 15 tahun saat
pertama kali ‘suara-suara’ itu muncul di kepalanya. Awalnya, Dean pikir itu
adalah suara teman-temannya, tapi setelah mencari darimana asal suara itu, dia
nggak bisa menemukannya. Dia ketakutan, karena suara-suara itu terus berbicara
tentang hal seperti “Right, you’re having
it.” dan, “We’ll get you in the end.”
Setelah beberapa hari kemudian, suara
itu terus dan terus mengejeknya dan membuat laki-laki itu depresi dan paranoid.
Saat perjalanan pulang ke rumah keluarganya, suara-suara itu terus meyakinkan
dia kalau semua orang itu membicarakannya (yang buruk-buruk).
Beruntung, keluarganya sangat
pengertian. Dean dibawa untuk periksa, tapi usaha itu agaknya nggak berjalan
mulus. Suara-suara itu malah semakin parah. Kali itu dia mendengar tiga suara
dalam kepalanya. Satu suara terdengar menertawakannya dengan suara jahat dan
dua suara lain seperti mengatakan hal-hal yang menyiksa dan mengancam.
Hal itu membuat Dean mulai menyakiti
dirinya sendiri. Dia berusaha mengalihkannya dengan pengobatan dan bermain game
sepanjang hari bersama pasien-pasien lainnya. Saat usianya 29 tahun, Dean
didiagnosa mengidap Skizofrenia. Dan saat itulah orang-orang mulai beranggapan
bahwa penyakitnya itu adalah hal yang berhubungan dengan pisau (mereka takut
Dean menyerang mereka atau bagaimana). Dean dijauhi oleh lingkungan.
Dean
mengusahakan segala cara untuk bisa sembuh sampai akhirnya dia mengikuti sebuah
seminar, Hearing Voices Network, dan
dari sanalah dia menemukan caranya untuk bisa—setidaknya—tidak merasa terlalu
terganggu dengan suara-suara itu. Salah seorang ahli dari seminar itu
membantunya melawan suara-suara itu dengan memberi petuah untuk tidak takut
dengan suara-suara tersebut. Dean disarankan untuk mengajak ‘ngobrol’ saja
suara-suara itu, ketimbang harus merasa ketakutan. Dan rupanya, cara itu cukup
berhasil. Paling tidak, batinnya tidak terlalu tersiksa lagi mendengar apa yang
dikatakan suara di kepalanya.
Setiap kali suara-suara itu muncul di
kepalanya dan mengancamnya, Dean akan membalas mereka dengan berani seperti,
“aku lagi nonton TV, bicaranya nanti saja!” atau “kenapa kamu pikir aku pantas
untuk melukai diriku sendiri? Kau tidak bisa menjawabnya, kan?”
Laki-laki itu akan terus membalas
perkataan dari suara-suara di kepalanya dan itu membuatnya jauh lebih baik.
Bahkan, ketika dia sedang di dalam bus. Dia tidak perduli meski orang-orang
menatapnya lucu atau apa. Suara-suara itu bukan lagi masalah baginya sekarang,
karena dia bisa mengontrolnya dengan baik.
Dean
bahkan mengaku kalau dia sudah tidak dalam pengobatan lagi dan dinyatakan
sembuh. Sekarang dia sudah mendapatkan kehidupannya dan seorang pacar. Dia juga
membantu orang-orang yang mendengar ‘suara-suara’ seperti dirinya. Dia menjelaskan
pada mereka untuk tidak takut mengambil pengobatan dan balaslah pembicaraan dari
‘suara-suara’ itu.
“I’ve learned that my voices
themselves are not a problem. It’s my relationship with them that’s important.
Facing them and working with them has changed my life and made me feel optimistic
about it instead of scared.” – Dean Smith.
Source:
0 komentar:
Posting Komentar