Minggu, 17 April 2016

Ilmu Budaya Dasar - Schizophrenia

Edit Posted by with No comments
Nama: Yolla Ristyani Dewi
NPM: 27315281
Kelas: 1TB01
Dosen: Ary Natalina


 Schizophrenia


1.      Apa itu Skizofrenia (Schizophrenia)?

Skizofrenia sering digambarkan sebagai penyakit gangguan jiwa. Kondisi ini menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Oleh karena itu, penderita skizofrenia sulit dalam berinteraksi secara sosial dan beraktivitas sehari-hari.

Perilaku sosial yang tertutup dan perubahan pola tidur menjadi gejala-gejala awal skizofrenia. Karena penyakit ini biasanya mulai berkembang pada usia remaja, gejala-gejala tersebut hanya dianggap sebagai perubahan tingkah laku remaja.

Di Indonesia sendiri, banyak orang yang belum memahami atau bahkan mengenali skizofrenia. Sebagian besar penduduk di negara ini, terutama di pelosok-pelosok desa, kerap mengaitkan kondisi ini sebagai akibat dari kerasukan makhluk halus. Oleh sebab itu banyak penderita skizofrenia di Indonesia yang tidak terdiagnosis, hingga tidak mendapatkan pengobatan yang layak.
Skizofrenia yang merupakan penyakit gangguan jiwa berat ini, diidap sekitar 24 juta penduduk dunia. Dan usia rentan kondisi ini berkisar antara 15 hingga 35 tahun.

Skizofrenia sebaiknya didiagnosis sedini mungkin. Makin cepat masalah kesehatan jiwa ini ditangani, peluang sembuhnya makin besar, dan penderitanya bisa kembali hidup secara normal.

2.      Apa penyebab Skizofrenia?

Pada dasarnya, penyebab pasti skizofrenia belum diketahui. Namun sejumlah ahli meyakini bahwa perkembangan kondisi ini tidak lepas dari peran kombinasi antara faktor genetika dan lingkungan. Dugaan mengenai pengaruh lainnya adalah kelainan yang terjadi pada zat-zat kimia otak, seperti asam glutamat dan dopamin.

Para ahli yang melakukan penelitian yang didasarkan pada pencitraan otak juga mengatakan bahwa ada perbedaan dalam struktur otak dan sistem saraf penderita skizofrenia dengan orang yang sehat.
Genetika, zat-zat kimia otak, struktur otak, dan sistem saraf merupakan bagian dari faktor “dalam”, sedangkan yang termasuk faktor “luar” atau lingkungan bisa berupa stres dan penyalahgunaan narkoba.

Stres atau trauma diduga menjadi salahsatu pemicu utama skizofrenia. Banyak hal yang dapat membuat seseorang mengalami stres, diantaranya adalah kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, pelecehan seksual, dan sebagainya.

Narkoba memang tidak menyebabkan skizofrenia secara langsung, namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa remaja pengguna ganja yang berusia di bawah 15 tahun, memiliki risiko empat kali lipat lebih besar untuk terkena skizofrenia jika dibandingkan dengan remaja yang tidak menggunakan ganja. Selain ganja, narkoba jenis lainnya yang dapat menjadi pemicu skizofrenia adalah kokain, heroin, dan sabu-sabu.

3.      Apa saja gejala Skizofrenia?

Gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori, yaitu gejala negatif dan positif.
Gejala ‘negatif’ skizofrenia menggambarkan hilangnya sifat dan kemampuan tertentu yang biasanya ada dalam diri orang yang normal. Sedangkan gejala ‘positif’ menggambarkan tanda-tanda psikotik yang muncul dalam diri seseorang akibat menderita skizofrenia.

Gejala negatif skizofrenia biasanya sudah muncul beberapa tahun sebelum penderitanya mengalami episode akut pertama dari kondisi tersebut. Gejala negatif berkembang secara bertahap atau perlahan-lahan, hingga akhirnya menjadi semakin memburuk. Gejala negatif bisa berupa:

•          Rasa enggan untuk bersosialisasi dan tidak nyaman berada dekat dengan orang lain sehingga lebih memilih untuk berdiam di rumah.

•          Kehilangan konsentrasi.

•          Pola tidur yang berubah.

•          Kehilangan minat dan motivasi baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain maupun dalam hidup secara keseluruhan.

Ketika penderita sedang mengalami gejala negatif, dia akan terlihat apatis dan datar secara emosi. Karena tidak sadar atau tidak tahu mengenai gejala negatif skizofrenia ini, kadang-kadang orang lain bisa menyalahartikan itu sebagai sikap malas atau tidak sopan. Mereka juga menjadi tidak peduli terhadap penampilan dan kebersihan diri mereka serta semakin menarik diri dari sosial. Karena itu gejala negatif skizofrenia bisa menjadi pemicu rusaknya hubungan penderita dengan keluarganya atau pun dengan teman-temannya.

Gejala positif skizofrenia terdiri dari:

•          Halusinasi. Terjadi pada saat panca indera seseorang terangsang oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Fenomena halusinasi terasa sangat nyata bagi si penderita.

•          Delusi. Yaitu kepercayaan kuat yang tidak didasari logika atau kenyataan yang sebenarnya.

•          Pikiran kacau dan perubahan perilaku. Penderita sulit berkonsentrasi dan pikirannya seperti 
melayang-layang tidak tentu arah sehingga kata-kata mereka menjadi membingungkan. Penderita juga bisa merasa kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Perilaku penderita skizofrenia juga menjadi tidak terduga dan bahkan di luar norma. Misalnya, mereka menjadi sangat gelisah atau mulai berteriak dan memaki tanpa alasan.

Penting untuk mengenali gejala-gejala skizofrenia seperti di atas. Jika Anda atau keluarga Anda mengalami gejala-gejala tersebut, segera periksakan ke dokter. Makin dini skizofrenia ditangani, peluang sembuhnya akan makin besar.

4.      Diagnosis Skizofrenia

Dalam mendiagnosis skizofrenia, dokter akan mengumpulkan data-data, termasuk data mengenai gejala-gejala tertentu yang mengindikasikan bahwa pasien menderita skizofrenia.

Pasien bisa didiagnosis menderita skizofrenia oleh dokter jika:

·         Memiliki sedikitnya dua gejala, baik gejala negatif maupun positif, seperti halusinasi, delusi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
·         Gejala tersebut telah dialami pasien selama lebih dari enam bulan.
·         Gejala tersebut telah mengganggu aktivitas dan produktivitas pasien dalam kehidupan sehari-harinya.
·         Gejala yang ada telah dipastikan bukan disebabkan oleh efek narkoba.

Umumnya penderita skizofrenia enggan untuk memeriksakan diri ke dokter. Peran keluarga atau teman sangat penting dalam menghadapi situasi ini. Jika skizofrenia yang diderita keluarga atau orang terdekat Anda masih tergolong ringan, berusahalah membujuknya untuk mau melakukan pemeriksaan ke dokter. Karena sekali lagi, makin dini penanganan skizofrenia dilakukan, maka peluang sembuhnya akan makin besar. Namun jika skizofrenia yang diderita sudah akut, maka Anda harus minta bantuan (biasanya kepada pihak rumah sakit) untuk membawa pasien ke rumah sakit secara paksa. Hal ini untuk mencegah pasien berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya atau orang lain.

                  5.      Bagaimana solusi pengobatan Skizofrenia?

Biasanya pengobatan skizofrenia berlangsung dalam jangka waktu yang lama, meski gejalanya sudah mereda. Hal tersebut dikarenakan gejala skizofrenia masih dapat kambuh pada sewaktu-waktu.
Skizofrenia ditangani dengan kombinasi obat-obatan dan terapi (pengobatan psikologis). Selama periode gejala akut, rawat inap di rumah sakit jiwa mungkin diperlukan untuk menjamin nutrisi, kebersihan, dan istirahat penderita, serta menjamin keamanan diri penderita dan orang-orang di sekitarnya.

Obat-obatan

Obat-obatan merupakan penanganan awal skizofrenia, dan obat yang diresepkan oleh dokter adalah antipsikotik. Antipsikotik memengaruhi kinerja dopamin dan serotonin pada otak. Obat ini mampu mencegah, menurunkan, bahkan menghilangkan halusinasi, delusi, agitasi, serta kecemasan yang dialami penderita skizofrenia.

Penderita yang menggunakan antipsikotik, perilakunya tidak seagresif penderita lainnya yang tidak menggunakan obat ini. Selain itu, menurut penelitian, mereka yang menggunakan antipsikotik juga jarang mengalami kumat setelah kondisinya membaik.

Anti psikotik bisa digunakan dalam dua cara, yaitu diminum atau disuntikkan. Bagi penderita skizofrenia yang telah melewati masa akut, pemberian antipsikotik harus tetap diberikan sebagai langkah pencegahan.

Ada dua kategori obat-obatan antipsikotik, yaitu antipsikotik generasi lama (fluphenazine, perphenazine, chlorpromazine, dan haloperidol) dan generasi baru (clozapine, ziprasidone, quetiapine, olanzapine, risperidone, aripiprazole, dan paliperidone)

Efek samping yang hanya ada pada antipsikotik generasi lama adalah otot terasa berkedut, badan gemetar, dan kejang otot. Sedangkan efek samping yang ada pada kedua jenis antipsikotik adalah peningkatan berat badan, sembelit, mengantuk, pandangan kabur, mulut kering, dan berkurangnya gairah seks.

Saat ini antipsikotik generasi baru merupakan obat yang paling sering direkomendasikan oleh dokter karena dianggap memiliki efek samping yang lebih sedikit.

Penanganan psikologis

Setelah gejala skizofrenia reda, disamping harus tetap melanjutkan konsumsi obat, penderita juga membutuhkan pengobatan psikologis. Ada beberapa hal yang termasuk di dalam penanganan psikologis ini.

Pertama adalah terapi individual. Pada terapi ini penderita diajarkan cara mengatasi stres dan mengendalikan skizofrenia melalui identifikasi tanda-tanda kambuh secara dini. Terapi ini juga berguna untuk memulihkan kepercayaan diri mereka. Terapi individual juga bermanfaat untuk kembali mengembangkan kemampuan mereka untuk bekerja dalam mengisi rutinitas kehidupannya.
Selain itu, dalam terapi individu, penderita skizofrenia juga akan diajarkan cara-cara untuk mengendalikan perasaan dan pola pikirnya. Tujuannya adalah untuk menggantikan pikiran negatif dengan hal-hal yang positif.

Yang kedua adalah terapi kemampuan bersosialisasi. Dalam hal ini penderita diajarkan bagaimana meningkatkan komunikasi dan interaksi dengan orang lain.

Dan yang ketiga adalah penyuluhan yang diperuntukkan bagi keluarga penderita. Guna penyuluhan ini adalah untuk memberikan pendidikan serta wawasan pada keluarga penderita skizofrenia, baik mengenai cara mengatasi masalah yang timbul akibat gejalanya, maupun cara memberikan dukungan bagi penderita skizofrenia.

Nah, jadi kurang-lebih seperti itu bahasan tentang Skizofrenia yang saya dapatkan dari salah satu sumber. Artikel aslinya bisa dibaca di sini.


Contoh kasus pengidap Skizofrenia

I Talk Back To My Voice in My Head” 

Jadi, namanya adalah Dean Smith. Laki-laki ini mengaku usianya baru 15 tahun saat pertama kali ‘suara-suara’ itu muncul di kepalanya. Awalnya, Dean pikir itu adalah suara teman-temannya, tapi setelah mencari darimana asal suara itu, dia nggak bisa menemukannya. Dia ketakutan, karena suara-suara itu terus berbicara tentang hal seperti “Right, you’re having it.” dan, “We’ll get you in the end.”

Setelah beberapa hari kemudian, suara itu terus dan terus mengejeknya dan membuat laki-laki itu depresi dan paranoid. Saat perjalanan pulang ke rumah keluarganya, suara-suara itu terus meyakinkan dia kalau semua orang itu membicarakannya (yang buruk-buruk).

Beruntung, keluarganya sangat pengertian. Dean dibawa untuk periksa, tapi usaha itu agaknya nggak berjalan mulus. Suara-suara itu malah semakin parah. Kali itu dia mendengar tiga suara dalam kepalanya. Satu suara terdengar menertawakannya dengan suara jahat dan dua suara lain seperti mengatakan hal-hal yang menyiksa dan mengancam.

Hal itu membuat Dean mulai menyakiti dirinya sendiri. Dia berusaha mengalihkannya dengan pengobatan dan bermain game sepanjang hari bersama pasien-pasien lainnya. Saat usianya 29 tahun, Dean didiagnosa mengidap Skizofrenia. Dan saat itulah orang-orang mulai beranggapan bahwa penyakitnya itu adalah hal yang berhubungan dengan pisau (mereka takut Dean menyerang mereka atau bagaimana). Dean dijauhi oleh lingkungan.

            Dean mengusahakan segala cara untuk bisa sembuh sampai akhirnya dia mengikuti sebuah seminar, Hearing Voices Network, dan dari sanalah dia menemukan caranya untuk bisa—setidaknya—tidak merasa terlalu terganggu dengan suara-suara itu. Salah seorang ahli dari seminar itu membantunya melawan suara-suara itu dengan memberi petuah untuk tidak takut dengan suara-suara tersebut. Dean disarankan untuk mengajak ‘ngobrol’ saja suara-suara itu, ketimbang harus merasa ketakutan. Dan rupanya, cara itu cukup berhasil. Paling tidak, batinnya tidak terlalu tersiksa lagi mendengar apa yang dikatakan suara di kepalanya.

Setiap kali suara-suara itu muncul di kepalanya dan mengancamnya, Dean akan membalas mereka dengan berani seperti, “aku lagi nonton TV, bicaranya nanti saja!” atau “kenapa kamu pikir aku pantas untuk melukai diriku sendiri? Kau tidak bisa menjawabnya, kan?”

Laki-laki itu akan terus membalas perkataan dari suara-suara di kepalanya dan itu membuatnya jauh lebih baik. Bahkan, ketika dia sedang di dalam bus. Dia tidak perduli meski orang-orang menatapnya lucu atau apa. Suara-suara itu bukan lagi masalah baginya sekarang, karena dia bisa mengontrolnya dengan baik.

            Dean bahkan mengaku kalau dia sudah tidak dalam pengobatan lagi dan dinyatakan sembuh. Sekarang dia sudah mendapatkan kehidupannya dan seorang pacar. Dia juga membantu orang-orang yang mendengar ‘suara-suara’ seperti dirinya. Dia menjelaskan pada mereka untuk tidak takut mengambil pengobatan dan balaslah pembicaraan dari ‘suara-suara’ itu.

“I’ve learned that my voices themselves are not a problem. It’s my relationship with them that’s important. Facing them and working with them has changed my life and made me feel optimistic about it instead of scared.” – Dean Smith.

Artikel aslinya isa dibaca di sini 


Source:



0 komentar:

Posting Komentar